AdSense

Sabtu, 23 Oktober 2010

AIR MUTLAK DALAM BAB WUDHU: Madzhab Imam Syafi’i



Lisensi Creative Commons
Air Mutlak dalam Bab Wudhu oleh Muhammad Labib disebarluaskan di bawah Lisensi Creative Commons Atribusi 4.0 Internasional.


بسم الله الرحمن الرحيم


Air mutlak seperti yang telah diketahui bersama merupakan salah satu dari syarat-syarat wudhu (bukan rukun wudhu). Berwudhu tanpa menggunakan air mutlak tidaklah sah hukumnya, seperti halnya ibadah sesuci yang lain, baik sesuci yang sunah maupun yang wajib.
Air mutlak merupakan
air murni tanpa embel-embel kata setelahnya, kecuali embel-embel berdasarkan tempatnya. Sebagai contoh, air laut merupakan air mutlak karena embel-embel “laut” disandingkan disebabkan ia bertempat di laut. Hal ini berbeda dengan air mawar karena embel-embel “mawar” disandingkan sebab mawar yang terlarut di dalamnya.[1]

Dalam kitab Fathul Qarib didefinisikan sebagai:
ما نزل من السماء أو نبع من الأرض على أي صفة كان من أصل الخلقة[2]
Artinya : “Air yang turun dari langit atau bersumber dari bumi dengan bentuk apapun sesuai dengan asal penciptaan”

Air mutlak tesebut terangkum dalam air-air berikut[3]:
1.       air langit,
2.       air laut,
3.       air sungai,
4.       air sumur,
5.       mata air,
6.       air salju, dan
7.       air es.

saya di sungai Pepedan Moga Pemalang


Air mutlak bisa digunakan untuk bersuci selama ia tidak berubah dalam sifat-sifatnya dan tidak musta’mal.

Air disebut berubah sifatnya apa bila secara indrawi atau taqdiri (perkiraan) air berubah rasa, warna, atau baunya secara parah (fāchisy) oleh benda yang bercampur baur dengannya (dalam fan fiqh biasa disebut sebagai benda mukhālith) sehingga tidak bisa dipisahkan, kecuali jika sulit dihindari seperti benda-benda yang berada pada tempat aliran air. Adapun perubahan yang disebabkan lama tak terpakai, benda yang menyertai (dalam fan fiqh biasa disebut sebagai benda mujāwir, yakni ketika bisa dipisahkan dari air seperti kayu wangi dan minyak), garam laut, atau dedaunan yang jatuh dengan sendirinya tidak merubah kemutlakan air, sehingga masih dapat digunakan berwudhu.[4]

Untuk mengetahui perubahan secara taqdiri, diperlukan pembanding untuk memperkirakan perubahan. Perubahan taqdiri adalah semisal perubahan yang disebabkan air mawar yang telah hilang semua sifatnya sehingga menjadi putih jernih seperti air mutlak. Ketika air mawar semacam itu tercampur dengan air mutlak, bagaimana cara mengetahui tingkat keparahan perubahan air mutlak? Caranya adalah membandingkan air mawar dengan benda lain. Jika sekira benda lain dengan kadar tertentu merubah air mutlak secara parah maka air mawar dengan kadar tersebut dianggap pula merubah air mutlak secara parah.

Perubahan yang disebut di atas merupakan perubahan yang disebabkan oleh benda suci. Sedangkan perubahan yang disebabkan oleh benda najis secara otomatis tidak bisa digunakan bersuci jika air di bawah 2 qullah (meskipun tidak berubah) atau terdapat perubahan meski sekecil apapun (walaupun air melebihi 2 qullah).[5]

Sedangkan air disebut musta’mal (telah terpakai) apa bila telah dipakai dalam sesuci fardlu berupa menghilangkan hadats atau najis.[6] Hal ini berlaku bagi air dibawah 2 qullah (guru fiqh saya menyebutnya sebagai 1x1x1 meter). Air di atas 2 qullah tidak bisa menjadi musta’mal.
Keterangan: Air musta’mal yang tercampur dengan air mutlak di bawah 2 qullah statusnya sama dengan air mawar yang telah hilang semua sifatnya. Jadi apabila air musta’mal menetes di air mutlak itu sedikit tidak dikatakan merubah. Tetapi apa bila yang menetes banyak, maka air musta’mal dianggap merubah air mutlak.

Wallahua’lam bishshawab…..

DAFTAR PUSTAKA
al-Malibari, Abdul Aziz, Fatch al-Mu’īn, Semarang: Karya Toha Putra, tth.
al-Ghazzi, Ibnu Qasim, Fatch al-Qarīb al-Mujīb, Surabaya: Dār al-‘Ilm, tth.
Syuja’, Abu, al-Taqrīb, Surabaya: Dār al-‘Ilm, tth.
al-Haitami, Ibnu Hajar, al-Minhāj al-Qawīm, Semarang: al-Alawiyyah, tth.


[1] Abdul Aziz al-Malibari, Fatch al-Mu’īn, (Semarang: Karya Toha Putra, tth), hlm. 4
[2] Ibnu Qasim al-Ghazzi, Fatch al-Qarīb al-Mujīb, (Surabaya: Dār al-‘Ilm, tth), hlm. 3
[3] Abu Syuja’, al-Taqrīb, (Surabaya: Dār al-‘Ilm, tth), hlm. 3
[4] Lihat Ibnu Hajar al-Haitami, al-Minhāj al-Qawīm, (Semarang: al-Alawiyyah, tth), hlm 4-5
[5] Lihat Abdul Aziz al-Malibari, Fatch al-Mu’īn, (Semarang: Karya Toha Putra, tth), hlm. 4-5
[6] Abdul Aziz al-Malibari, Fatch al-Mu’īn, (Semarang: Karya Toha Putra, tth), hlm. 4

Tidak ada komentar:

Posting Komentar