Keramaian para santri berjalan ke Madrasah Ghozaliyah menghiasi rumahku setiap pagi. Rumah yang berada tepat di gerbang madrasah memudahkan aku keluar masuk madrasah. Tidak perlu persiapan sampai berjam-jam untuk mengikuti kegiatan madrasah. Setengah jam sudah cukup untuk persiapan mandi, makan dan perlengkapan tulis menulis.
Bukan berarti karena Madrasah Ghozaliyah berada di belakang rumahku maka Madrasah Ghozaliyah adalah "madrasahku" dalam artian milikku atau Abahku. Madrasah itu merupakan sarana dakwah yang dikelola oleh pondok-pondok pesantren di Pakempal, tanpa terikat oleh satu pondok diantara pondok-pondok pesantren tersebut.
Bel berbunyi dengan nyaringnya. Bel pertama menunjukkan waktu aktivitas ajar mengajar segera dimulai dan seluruh santri dimohon untuk standby di kelas dengan melantunkan syair-syair salafi yang wajib dihafal oleh setiap santri atau murid di Madrasah. Aku sudah bersiap dan segera menuju kelas dengan memakai sandal, baju putih dan sarung. Hari ini aku bawa: al-Mahalli untuk mata pelajaran fiqih, Faidlul Khobir untuk mata pelarajan ilmu tafsir, dan Sullamul Munauroq untuk mata pelajaran manthiq/logika.
Terdengar suara imut, yang aku sangat kenal. “Kakak! Adek mau ikut!”, aku tersenyum melihat Naurotus Sami, umur 2 tahun, adikku paling kecil dari tujuh bersaudara, merengek mau ikut aku jalan ke luar.
Yang ia tahu adalah setiap keluar pasti ada yang ia sukai. Tapi jika dia ikut, aku tidak bisa leluasa beraktivitas.
“Adek, Kakak nggak mau kemana-mana kok. Cuma mau beli rujak di belakang rumah. Mau ikut? Sini! Mau kakak beliin apa?”. Aku ajak keluar sebentar, biar Naura puas dulu.
Lanjutan Klik Perjalanan Menimba Anugrah-Nya.